“Habis manis, sepah dibuang,”
betapa pandainya para sepuh kita membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai
sudah tidak berguna lagi disisihkan begitu saja. Kadang kita marah, kalau
diperlakukan seperti sepah. Padahal, kita juga akan membuang sepah itu jika
sudah tidak ada lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa korbannya
saja. Kita tidak suka jadi korban, itu saja. Bukankah kita juga tidak ingin
menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar adalah
yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika kita sudah
menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus menikmati rasa
manis yang sudah tidak kita miliki lagi. Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih?
Meski bukan daerah penghasil gula,
namun di rumah masa kecil saya terdapat rumpun-rumpun pohon tebu. Kami
menggunakan parang untuk memotong batangnya, lalu mengupas kulitnya. Kemudian
memotong batang tebu itu menjadi seukuran jari-jari telunjuk. Setelah itu? Kami
mengungahnya. Rasa manis memenuhi mulut kami. Lalu tiba saatnya dimana kunyahan
itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Di mulut kami sekarang hanya tertinggal
ampas. Kami meludahkan ampas itu ke tanah. Benda tak berdaya diatas tanah
itulah yang kita sebut sebagai sepah. Habis manis, sepah dibuang.
Memangnya harus diapakan lagi sepah
itu jika tidak dibuang? Kita sering menggambarkan hidup yang sudah tidak
berguna sebagai sepah. Kita sadar jika sudah tidak berguna, tetapi masih ngotot
untuk tidak dibuang. Itu mengindikasikan bahwa ini adalah saatnya untuk
mengubah paradigma tentang hidup. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar
memperbaiki paradigma hidup itu; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5
sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:
1. Jadilah pemanis kehidupan.
Disekitar kita begitu banyak orang
yang suka minum kopi. Tetapi, saya hampir tidak pernah mengenal orang yang minum
kopi tanpa gula. Bahkan sekalipun kita menyebutnya ‘kopi pahit’,
ternyata ya menggunakan gula juga. Mengapa gula selalu ada dalam setiap cangkir
kopi yang disajikan? Karena gula membuat rasa pahit pada kopi terasa menjadi
manis. Anda yang mengetahui rasa asli kopi tentu tahu jika sebenarnya kopi itu
mirip arang. Karbon yang tersisa dari benda hangus. Makanya rasanya tidak
benar-benar enak. Tetapi, ketika kedalam seduhan kopi pahit itu kita bubuhkan
gula; tiba-tiba saja kita menikmatinya. Bahkan menjadikannya sebagai minuman
favorit. Bayangkan jika kita bisa membuat rasa pahit kehidupan menjadi terasa
manis. Tentunya kita tidak akan lagi harus disiksa oleh rasa pahit itu. Bahkan
boleh jadi, kita menjadi penikmat rasa pahit itu. Kita bisa menari dalam deraan
tantangan dan rintangan. Kita masih bisa tersenyum ditengah terpaan angin
cobaan. Dan kita masih bisa bersyukur meski tengah berada dalam pahit getirnya
cobaan hidup. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mampu memaniskan kehidupan.
2. Jadilah pribadi yang manis, maka
pasti selalu dikerubuti.
Ditempat tidur saya tiba-tiba saja
banyak sekali semut. Setelah diperiksa, ternyata ada sisa-sisa gula dari kue
kering yang kami makan bersama anak-anak. Ternyata benar; ada gula, ada semut.
Para semut tidak lagi memperdulikan lokasi dan situasi. Dimana ada gula,
kesitulah mereka berbondong beriringan. Ini tidak hanya benar bagi para semut.
Coba saja perhatikan orang-orang yang bisa memberi manfaat bagi lingkungannya.
Para dermawan, selalu dikerubungi oleh para pengikut setianya. Para alim ulama
dan orang-orang berilmu, selalu menjadi rujukan para pencari pencerahan.
Siapapun yang bisa memberi manfaat kepada orang lain, bisa dipastikan selalu
dibutuhkan oleh mereka. Kita? Sesekali orang lain itu mbok ya membutuhkan kita
gitu loh. Tapi mengapa yang terjadi malah sebaliknya ya? Mereka malah mengira
seolah kita ini tidak ada. Sekalipun kita sudah menyodor-nyodorkan wajah kita.
Tetap saja masih tidak mereka lihat. Sudah beriklan, bahkan. Tapi juga tidak
ditanggapi. Barangkali, karena kita belum bisa menjadi pribadi yang manis bagi
mereka. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk mengerubuti segala sesuatu
yang terasa manis.
3. Tetaplah manis, maka sepahmu
tidak pernah dibuang.
Mari berhenti untuk marah atau
kecewa jika orang lain membuang kita karena mereka menilai kita sudah menjadi
sepah. Mereka tidak salah. Kitalah yang harus berpikir bagaimana caranya supaya
tidak menjadi sepah. Sebab jika kita masih tetap memiliki rasa manis itu,
mereka tidak akan membuang kita, percayalah. Saya mengenal seorang eksekutif
senior yang mumpuni. Setelah memasuki masa pensiun dari jabatanya yang tinggi,
saya pikir beliau akan menjadi seperti ‘tebu-tebu’ yang lainnya. Ternyata saya
keliru. Perusahaan kemudian memperpanjang masa kerjanya dengan system kontrak.
Lalu beliau berpindah ke perusahaan lain. Lalu beliau ditarik lagi oleh
perusahaan lainnya. Bagi saya, beliau inilah salah satu living legend mereka
yang tidak pernah membiarkan dirinya ‘kehilangan rasa manis’. Meski usianya
sudah jauh melampaui masa pensiun, beliau tetap manis. Rasa manis yang masih
tetap lestari didalam dirinya itulah yang menjadikan beliau tetap menjadi
rebutan perusahaan-perusahaan besar. Jadi jika kita tidak ingin menjadi sepah
yang dibuang, maka kita harus memastikan bahwa kita tetap menjadi pribadi yang
manis.
1.
Nikmatilah
rasa manis secukupnya, tidak berlebihan.
Sekarang, cobalah ambil sesendok gula terbaik yang Anda miliki. Lalu suapkan sesendok gula itu kedalam mulut Anda, dan kunyahlah. Apakah Anda masih menikmati rasa manisnya? Pada dasarnya, semua orang menyukai rasa manis. Namun, tak seorang pun bisa melahapnya terlalu banyak. Kita semua mendambakan manisnya kehidupan. Dan kita sering terlalu serakah untuk merengkuhnya sendirian. Bahkan gula pun mengajari kita bahwa terlalu banyak rasa manis membuat kepala kita pusing, bahkan kita bisa mengalami sindrom toleransi insulin. Sungguh keliru jika kita mengira hidup yang manis itu adalah yang semuanya serba indah. Tidak. Justru hidup yang terlalu indah cenderung menjadikan kita pribadi yang serakah. Semacam sindrom toleransi insulin kehidupan. Tidak peduli betapa banyak insulin yang diproduksi dalam tubuh Anda, gula akan tetap menumpuk dalam darah Anda. Tahukah Anda apa yang terjadi ketika dalam darah kita terdapat lebih banyak gula dari yang seharusnya? Hmmmh, Anda tentu paham yang saya maksudkan. Bahkan rasa manis kehidupan yang terlalu banyak pun bisa membahayakan kehidupan diri Anda sendiri. Maka nikmatilah rasa manisnya kehidupan, namun tidak perlu berlebihan.
2.
Semanis
apapun kita, tidak bisa lepas dari fitrah.
Sepah di kebun tebu kami jumlahnya
tidak terlalu melimpah. Namun jika dibiarkan tetap saja menjadi sampah. Kami
punya banyak pilihan untuk memperlakukannya. Jika kami membuangnya ke kolong
kandang domba, maka sepah itu akan menambah nutrisi pada pupuk kandang yang
kami dapatkan. Jika kami membuangnya ke kolam ikan, maka dia akan menjadi
tempat tumbuhnya plankton dan jentik-jentik makanan penggemuk ikan. Jadi,
apanya yang terbuang dari seonggok sepah? Tidak ada. Sepah benar-benar
menyadari bahwa dia tidak bisa melawan fitrah. Semua orang yang pernah muda
akan menjadi tua. Semua yang gagah perkasa akan menjadi tak berdaya. Semua yang
kuat menjadi lemah. Itulah fitrah. Tetapi mari sekali lagi kita lihat sang
sepah. Bahkan setelah masuk tempat sampah, dia tetap saja menjadi anugerah.
Jika kita ikut mengimani konsepsi hidup setelah mati, maka kita lebih beruntung
lagi. Karena dengan keyakinan itu kita kita bisa berharap memetik buah manis
tabungan kebaikan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Kita boleh berharap
itu, karena iman kita mengajarkan bahwa setiap amal baik yang pernah kita
lakukan atas nama Tuhan, akan membuahkan imbalan yang sepadan. Beruntunglah kita
yang percaya, karena setidak-tidaknya kita memiliki harapan; bahwa fitrah kita
adalah untuk mempersiapkan tempat pulang alam keabadian.
Tidak perlu lagi untuk merasa kecewa
karena telah dihempaskan oleh lingkungan yang Anda harapkan memberikan
penerimaan. Mungkin mereka benar telah menghempaskan kita karena kita belum
bisa memberi rasa manis yang mereka butuhkan. Mungkin juga mereka keliru karena
tidak bisa menghargai rasa manis yang kita miliki. Tetapi, bukan itu yang perlu
menjadi fokus perhatian kita sekarang. Cukuplah untuk selalu memikirkan,
bagaimana caranya agar kita bisa memberikan lebih banyak lagi rasa manis?
Karena dengan rasa manis yang kita tebarkan, kita tidak perlu meneriaki para
semut untuk mengerubuti. Insya Allah, cepat atau lambat; mereka akan datang
sendiri.
sumber : http://www.beritaunik.net/renungan/anda-menyukai-tebu-atau-gulanya.html
sumber : http://www.beritaunik.net/renungan/anda-menyukai-tebu-atau-gulanya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar